My Blog, My View

~ My Voice, My Choice

My Blog, My View

Tag Archives: studi

Kamu Punya Pasangan? Saatnya Studi Keluar Negeri.

28 Selasa Jul 2015

Posted by Satrya Wibawa in Mahasiswa juga manusia

≈ Tinggalkan komentar

Tag

luar negeri, pasangan, studi

Dua email masuk tadi pagi mempertanyakan hal yang sama.

Email pertama: “Mas, kok cuman jomblo doang yang diperhatikan. Yang sudah punya pasangan juga dong. Malah yang punya pasangan lebih perlu motivasi.”

Betul juga. Jangan-jangan malah karena tulisan saya bikin mereka putus. Karena melihat posisi jomblo lebih menguntungkan. Lahir bathin. Dosa saya tambah dong. Oleh jombloers saya dicap jomblo-haters, oleh non jombloers, saya dianggap jomblo-lovers. Susah. Hidup sekarang ini mesti hitam putih begitu ternyata. Kalau saya mah, milih hitam manis. Ya kayak saya ini.

Email kedua: “Pak Satrya, kami yang sudah menikah juga boleh dong minta sarannya. Masak studi keluar negeri ndak bisa buat yang sudah menikah. Kan bapak juga sudah menikah.”

Nah. Penulis email kedua pasti sudah tua. Makanya panggil saya pak. Kalau di kelas saya, sudah saya suruh keluar nih. Hehehe.. Tapi benar juga. Yang sudah menikah juga boleh dong didorong untuk sekolah. Saya pernah mengalami situasi saat sulitnya minta ampun mencari kandidat yang mau disekolahkan ke eropa untuk program doctor. Peminatnya dibawah kuota.

Dua email itu menjadi inspirasi tulisan saya berikutnya. Saya mulai dengan yang berpasangan. Yang tentunya secara hukum dan adat belum menikah. Kalau secara biologis ya bukan urusan saya brooo.

Masak sama dengan yang jomblo? Tentu tidak. Tapi argumentasi saya tetap, kalau kamu punya pasangan, saatnya studi keluar negeri. Eh, sebentar, batasi dulu, punya pasangan itu apa maksudnya.

Punya pasangan bisa diartikan kamu yang sudah punya pacar (pernah dengar ajakan langsung “mau jadi pacarku?”); pernah bawa pasangan ke rumah dan diperkenalkan kepada orang di rumah sebagai “Ini pacarku”; Pernah bersama-sama foto box dengan gaya bebek gitu, fotonya diisi tulisan “Luv YU FOREVER, CHAYANKKHUH.” Terus diposting di facebook dan di-like sendiri; atau bisa juga kamu yang gak pernah bilang pacaran, tapi kerjaannya nyosor terus; TTM (teman Tapi Merapat, teman tapi Menggrepe)

Studi keluar negeri bagi kalian yang berpasangan adalah saat yang tepat buat kalian menguji kedalaman dan ketulusan pasangan kalian. Ini bisa kalian nilai saat pertama kalian menyampaikan keinginan:

“Yang, aku kepengin sekolah di Jerman nih. Gimana yang?”

  1. Kuatkan ikatan kalian jika dia berkata, “Okay, kamu perlu duit berapa? Berapa lama? Perlu dibelikan apartemen ndak? Mau berangkat dengan kelas bisnis? Atau sebelum sekolah kita jalan-jalan keliling eropa dulu?”. Yang kayak gini, cepetan dikawinin aja. Jarang-jarang loh.
  2. Segera berpikir ulang jika dia berkata, “Oh gitu ya? Ya udah. Cepetan berangkatnya ya. Besok kan? Kalau bisa baliknya jangan cepet-cepet. Oh, besok aku juga mau ganti nomer hape sama email”. Ini indikasi sederhana. Putuskan segera.
  3. Pertimbangkan jika dia berkata, “hah? Waduh. Yuk bicarakan dulu. Kita liat untung ruginya. Mungkin aku juga bisa ikut. Atau paling ndak, ada yang bisa kubantu?”. Paling tidak, dia rasional. Mau mikir. Siapa tahu malah berubah jadi nomer 4.
  4. “Wah, aku juga punya pikiran yang sama. Yuk, apply bareng. Terus berangkat bareng. Kapan kita mulai?”. Yang kayak gini, perlu ada backsound lagu cinta begitu. Ada bibit soulmate.

Studi keluar negeri bisa dipakai sebagai indikator rasa dan perasaan. Anda bisa lihat gimana pasangan anda. Apa benar dia cocok. Apa benar dia bisa saling melengkapi. Kan ada lagu bilang “You complete me”. Ini tidak berarti pasangan anda harus ikut. Ndak harus. Siapa tahu dia juga ada beban tanggung jawab sehinga tak bisa ikut. Mendukung punya banyak cara bukan?

Tapi memang kondisi ideal yang akan saya tawarkan di sini adalah, jika anda pergi bersama pasangan anda. Studi keluar negeri bersama pasangan anda. Menyenangkan. Kalau ndak percaya, banyak tuh hadiah tamasya keluar negeri pasti ditawarkan untuk dua orang. Jadi biar ndak ngaplo sendirian kayak jomblo (Nah, abaikan tulisan saya soal jomblo kemarin itu)

Studi keluar negeri bersama pasangan dapat menjadi pemantapan perasaan. Pernah nonton road movie gitu kan ya? Dalam perjalanan, selalu ada dinamika yang membuat pasangan itu lebih memahami masing-masing. Memang ada dua sisi. Ada yang tambah erat dan cinta. Ada juga yang justru terluka tapi menyadari bahwa saatnya pasangan dimasukkan ke “friend-zone” only.

Studi keluar negeri bersama pasangan juga asyik. Setidaknya ada “teman” berbagi cerita, susah, duka, dan kalau perlu sebagai tempat mencari pundak. Untuk mendapatkan “pukpukpuk” segera, tanpa delay, tanpa hambatan pulsa.

Study keluar negeri bersama pasangan juga bisa buat saling melengkapi. Anda yang biasa difoto, pasangan anda bisa memfoto. Anda biasa jalan tanpa barang, pasangan anda bawa barang. Gitu deeeeeh. Kan “yu komplit mi”

Studi keluar negeri bersama pasangan juga bisa dipake ajang menghemat. Makan sepiring berdua, anda lauknya, pasangan anda nasi-nya. Minum sebotol berdua, pasangan anda minum airnya, anda megang botolnya. Malah kalau mau romantic, makan satu hotdog berdua, anda ujung kiri, pasangan anda ujung kanan. Akhirnya, rebutan. Hotdoc jatuh, anda berdua kelaparan. Tapi kan berdua. Ketimbang kelaparan sendirian? Terus nangis sendirian. (Sekali lagi, abaikan tulisan saya soal jomblo itu)

Studi keluarnegeri bersama pasangan memang seperti film. Klise. Tapi, saya tahu setidaknya dua pasang teman saya yang mengalami itu, menarik. Mereka jadi tahu benar perasaan masing-masing. Pasangan pertama, akhirnya menikah saat mereka studi. Menikah tamasya gitu akhirnya. Malah akhirnya punya anak di negeri orang. Lengkap. Pasangan satu lagi, menikah saat kembali ke Indonesia. Dan sekarang berkelana lagi berdua ke negeri orang. Studi. Berdua lagi.

Jadi, kalau kamu punya pasangan, saatnya studi keluar negeri. Tunggu apa lagi?

PS: buat bapak yang minta saya soal studi keluar negeri saat sudah menikah, sabar pak ya.

Perth, 28 Juli 2015

Anda Jomblo? Ini Saatnya Studi Keluar Negeri.

27 Senin Jul 2015

Posted by Satrya Wibawa in Mahasiswa juga manusia

≈ Tinggalkan komentar

Tag

jomblo, luar negeri, studi

Menulis tema ini sebetulnya sulit buat saya. Sudah ribuan tulisan soal ini dipublikasikan di internet. Rasanya, bagi saya, basi kalau menulis lagi. Tapi colekan dua mahasiswi saya yang pintar-pintar membuat saya berpikir ulang. Mungkin saya harus berbagi perspektif yang berbeda soal studi ke luar negeri. Pengalaman jadi mandor di sebuah unit yang ngurusin studi keluar negeri, mungkin juga bermanfaat. Jadi, kalau anda mau cari informasi yang serius soal bagaimana studi keluar negeri, cobalah liat blog ini: http://madeandi.com/scholarships/ Pak made ini sakti mandraguna kalau soal beasiswa. Kabarnya, orang Bali memang begini ini: pintar, baik hati. Tidak termasuk saya. Saya mungkin termasuk orang bali yang agak mlingse :p. Manis sih iya, tapi kalau pintar, hmmmm. (Jadi ingat nilai statistic deskriptif D).

Nah kalau soal motivasi studi keluar negeri, ini bisa jadi belum banyak ditulis. Apalagi kalau dari perspektif yang agak berbeda. Saya mulai dengan perspektif favorit saya, dan yang paling dibenci mahasiswa saya: Jomblo.

— Ya Tuhan, salah jomblo apa?

Nah, anda salah. Saat ini, dengan bangga saya akan sampaikan bahwa kalau anda Jomblo, anda berarti dalam waktu yang sangat tepat untuk studi keluar negeri.

Sebentar, kategori jomblo yang saya maksud adalah: anda belum punya pacar; tidak punya pacar; belum pernah pacaran; gak tahu apa itu pacaran; ngaplo kalau liat orang pacaran; punya pacar tapi pacarnya ndak pernah peduli anda dimana; punya pacar tapi anda ndak pernah jalan bareng; punya pacar tapi pacar anda jalan sama orang lain; punya pasangan tapi ndak tahu namanya apa, pacar atau teman.

Anda yang sudah menikah, boleh sih mengaku jomblo. Tapi saya punya tulisan lain soal ini. Jadi, sudahlah, minggir dulu. Ini saatnya saya memotivasi anda yang jomblo. Saatnya saya berkata, Jika anda Jomblo, ini saat yang tepat untuk studi keluar negeri.

Studi keluar negeri saat anda jomblo adalah berarti mengurangi tekanan dan pikiran perasaan anda akan “ditinggalkan dan meninggalkan”. Anda akan lebih bebas. Iya, anda akan kepikiran keluarga di rumah. Bukankah saat jomblo adalah saat anda berkelana, bebas pergi kemana saja. Tanpa harus ada sms: “yang, kemana saja? Bersama siapa? Ngapain saja?”.

Kebebasan itu misalnya saat anda memilih kampus atau bahkan negara tujuan. Jika anda berkeluarga, anda harus memikirkan keluarga anda. Itu wajib. Sekolah anak dimana, dan sejenisnya. Tapi, itu tidak berlaku buat anda. Anda kan jomblo? Buat apa mikirin sekolah anak? Anak aja belum punya. Boro-boro, pasangan aja belum ada kok malah mikir anak. GR amat.

Buatlah studi keluar negeri seperti memilih liburan. Jangan mikir sekolahnya. Setres. Saya sih membuat studi keluar negeri itu dengan pengandaian: Liburan keluar negeri, bawa anak istri, dibayari pemerintah luar negeri, dengan imbalan, saya harus meneliti. Buat saya, itu asyik sekali. Saya selalu mencoba melihat semua hal dari perspektif yang menyenangkan. Hidup sudah cukup susah. Liburan adalah pengalaman yang menyenangkan. Kenapa tidak dipakai sebagai alasan?

Anda, terutama jombloers sejati, kan sudah pengalaman melakukan semuanya sendiri. Jadi, apa salahnya jika studi keluar negeri dipakai sebagai sebuah pengalaman ‘sendiri” lagi. Life as usual, mate.. kalau biasanya: nyuci-nyuci sendiri, masak-masak sendiri, makan-makan sendiri. Bayangkan, semua itu dilakukan di luar negeri. Naik pesawat sendiri. Iya, ngaplo dan ngenes-nya sama sih, tapi kan beda. Biasanya dibully pas naik angkot sendiri pulang dari kampus, kali ini, mau ke Swedia, atau Perancis, dalam pesawat. Atau naik kereta keliling eropa. Beda kan?

Termasuk saat anda sudah di luar negeri. Kejombloan anda akan memudahkan anda untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan travelling misalnya. Anda bisa pergi kemana saja, kapan saja. Tidak harus mikir, “ini kapan anak libur sekolah yaaa”. Alhasil, anda sering dapat tiket murah karena anda pergi tidak pada masa libur sekolah. Percaya deh. Anda seperti akan di surga saat melihat harga tiket pesawat pulang pergi hanya setengah dari harga kost anda di Surabaya. Tentu, anda tidak bisa merasakan family discount, tapi hei…masing-masing ada rejeki-nya. Sudahlah, manfaatkan dulu rejeki anda saat anda jomblo.

Jadi, buatlah perspektif awalnya: jomblo berlibur keluar negeri, sendiri, dibayari, dengan bonus studi. Syukur-syukur, ketemu tambatan hati.

Nah, tambatan hati ini jadi motivasi kedua. Bayangkan, anda jomblo, di negeri sendiri, ditolak atau putus berkali-kali, ketemunya orang itu-itu saja berkali-kali. Bisa jadi karena kurang orientasi. Kurang pemandangan baru. Studi keluar negeri bisa jadi opsi. Anda akan bertemu banyak orang yang berbeda. Anda akan diberikan lebih banyak pilihan. Bukan, ini bukan soal pilihan ras untuk dikawini. Ini soal memberikan anda pemahaman lebih luas: Hoi…cowok-cewek di luar sana masih banyak. Jangan khawatir. Kan anda selalu beralasan, jodoh ada di tangan Tuhan. Saya bisa menambahkan, kalau situ ndak usaha nyari, ya, tetap aja jodoh di tangan Tuhan. Bukan di tangan anda. Menurut saya, ungkapan itu maksudnya, “Jodoh di tangan Tuhan, manusia berusaha dulu dong”.

Anda akan menemukan komunitas sendiri yang bisa jadi cocok dengan anda. Barangkali, anda selama ini jomblo, karena belum menemukan komunitas yang sehati. Siapa tahu, dengan studi keluar negeri, anda bisa temukan. Misalnya membentuk komunitas jomblo dunia, atau komunitas jomblo hobi travel. You will find the way, anyway busway…

Motivasi ketiga, masih serempetan sedikit soal pasangan, anda akan lebih leluasa loncat sana loncat sini dalam pergaulan. Anda bisa masuk dalam banyak budaya teman yang berbeda. Anda bisa merasakan hang out dari pagi sampai pagi dengan teman-teman dari banyak negara. Anda bisa jump in saat ada rencana gathering atau single party. Tentu itu semua tergantung anda sih. Anda sendiri yang membuat garis batas pribadi anda. Tapi rasanya akan aneh, jika sudah studi di luar negeri, anda setiap hari di kampus dan apartemen tanpa ada niatan pergi kemana bersama teman-teman anda. Kalau cuman gitu doang, di rumah sendiri juga bisa. Saatnya eksplorasi, kawan… Bukan, saya tidak mengajak anda untuk melewati batas-batas norma. Yeah, saya bukan orang yang alim. Yang saya maksud adalah, saatnya anda melakukan eksplorasi budaya mumpung anda punya jaringan pertemanan yang lebih luas. Malah, kadang anda bisa hemat loooh. Suatu waktu, anda ingin travel ke Turki misalnya, dan anda punya teman dari Turki, siapa tahu anda bisa menginap di rumahnya. Hemat. Kesmepatan itu akan lebih besar ketimbang misalnya, anda bawa keluarga.

Ini berkaitan dengan motivasi keempat: Murah dan hemat. Saat anda jomblo, anda bahkan bisa memilih kota atau negara yang terkenal mahal misalnya, karena kejombloan anda akan memberikan banyak kesempatan buat anda. Anda bisa share apartemen, anda bisa ngekos. Hal-hal yang susah dilakukan anda yang punya keluarga. Anda relatively akan lebih mudah mencari pekerjaan karena waktu yang agak bebas. Anda bisa kerja malam, subuh, atau malah tidak kerja. Dalam banyak kasus, kalau beasiswa anda beres, dan anda terbiasa hidup apa adanya, malah seringkali anda tidak perlu bekerja lagi. Tinggal nikmati hidup. Tapi, hei, bekerja juga menambah pengalaman. Menambah teman. Tentu, menambah tabungan. Minimal, mengurangi waktu anda meratapi kejombloan anda. Nah ini jadi motivasi kelima.

Anda bisa punya waktu untuk lebih produktif. Daripada tiap hari meratapi kejombloan anda, lebih baik ikut misalnya volunteer di mana gitu. Pasti akan banyak ditawari di kampus. Atau menekuni hobi anda. Ikutan club kampus anda. Kalau perlu yang agak tidak biasa. Misalnya Beer Club. Hehehehe. Atau, kalau anda masih berkutat dengan kejombloan anda, ya ikut single club gitu deh. Jadi anda tidak perlu merasa andalah jomblo paling nelongso di dunia. Jangan GR.

Saya yakin, studi keluar negeri, akan membantu pergeseran pemahaman anda, tidak hanya tentang dunia, tapi yang lebih penting, tentang diri anda sendiri. Bahwa, banyak hal di luar sana bisa anda raih, bisa anda jelajah. Bahwa anda jomblo, itu tetap. Kecuali kalau anda sendiri mengubahnya. Jadi, Mblo…saatnya anda pergi.

Catatan: tulisan ini sebaiknya dibaca mereka yang jomblo dengan pemikiran yang terbuka. (tapi telat ya, kasih catatan kok di akhir tulisan)

Perth, 27 Juli 2015

Essay Pita Cukai: Sebuah Review

24 Minggu Agu 2014

Posted by Satrya Wibawa in My Article

≈ Tinggalkan komentar

Tag

dokumenter, genre, review, rokok, sinema, studi, studi sinema

Re-post dari http://tanahapikata.blogspot.com/2010/01/kritik.html

Tak banyak film essay diproduksi di Jawa Tinur. Maka, saya langsung menyanggupi saat S.Jai menyodorkan film essay-nya direview. Adalah sebuah kesempatan langka, saat satu genre dalam studi sinema itu dicoba untuk ditekuni. Selama ini, tepatnya selama euforia film pendek di Indonesia, oh oke, Jawa Timur, saya menonton ratusan film-film pendek dengan genre drama fiksi, serta beberapa belas dokumenter, sedikit eksperimental dan, akhirnya, satu sinematik essay.

Film essay atau sinematik essay, sebagai sebuah bentuk film, telah lama didiskusikan dalam ruang lingkup film studies sebagai salah satu genre integratif. Sebagaimana banyak studi kritis dan genre dalam sinema, pengaruh sastra tulis tidak bisa dilepaskan begitu saja. Taruhlah studi author dalam sastra tulis yang kemudian diintegrasikan dalam studi sinema. Studi ini sempat menjadi kontroversi perang wacana dalam studi sinema. Begitupun sinematik essai. Sebagai sebuah genre, sinematik essay seringkali dilihat sebagai salah satu usaha memvisualisasikan essai.

Thompson (2005) mendeskripsikan esai sinematik sebagai bentuk lain dari sinema kontemporer yang mengintegrasikan film dokumenter, unsur fiksi dan aspek eksperimental. Thompson memaparkan beberapa aspek yang dianggap signifikan dalam pembuatan esai sinematik, yaitu:

Meditation on a theme substituted for plot; disunity of time, space, tone, materials, style; modularity; suspension of belief; self criticism or self reflexivity; non-anticipatory camera; medium shots; and editing strategies varied. (hal.2)

Senada dengan Thompson, Lopate (1998) menyatakan bahwa sebuah sinematik esai adalah sebuah teks [sinema] yang dapat mengekspresikan kekuatan sebuah sudut pandang personal untuk mendiskusikan isu-isu tertentu. Lopate menyarankan lima proposisi yang dapat digunakan dalam sinematik esai. Yang pertama, sinematik esai harus memiliki beberapa bentuk kata-kata: teks tertulis, ungkapan langsung, atau kutipan, karena “conveying a message of politics through images does not alone make an essay” (hal.246). Artinya, visual saja tidak cukup.

Kedua, Lopate menjelaskan, teks tersebut seharusnya dijadikan suatu bentuk yang mampu mengartikulasikan sebuah perspektif tunggal dari pembuat film, dan ia menambahkan bahwa, “there is nothing wrong with lots of citation or quotes in an essay, so long as a unified perspective is asserted around them” (hal.246). Ketiga, Lopate menyarankan bahwa sinematik esai harusnya melibatkan diskusi logis atau, “discourse on a problem” (hal.246). Proposisi keempat Lopate adalah teks harus menampilkan sebuah, “strong, personal point of view” (hal.246). Hal ini berarti bahwa teks tersebut mestinya menyampaikan sebuah perspektif spesifik yang berasal dari sebuah topik atau isu yang didiskusikan pembuat film dalam film tersebut. Terakhir, sebagai bagian dari nilai estetiknya, teks mestinya bersifat persuasif, menarik, dan dibuat secara seksama sesuai dengan kualitas kemampuan pembuat film.

Sebagai tambahan, Lopate (1998) memberikan tiga strategi pilihan untuk memproduksi sebuah sinematik esai: yang pertama, menulis sebuah teks dan mencari materi visual untuk memvisualisasikannya; kedua, mengambil gambar atau menyusun beberapa cuplikan gambar, kemudian menulis sebuah esai yang mengomentari susunan cuplikan tersebut; ketiga, gunakan sebuah proses kerja yang tidak terstruktur dengan cara menyusun cuplikan adegan dan menulis teks secara berkesinambungan untuk menyelesaikan sebuah esai sinematik secara menyeluruh. Saya tidak terlalu banyak tahu sinematik essay di Indonesia. Apalagi di Jawa Timur. Satu di antara beberapa yang saya tahu, dan saya suka adalah sinematik essay karyya Garin Nugroho. Beberapa karya Chris Marker (seperti Sans Soleil, 1982; The last Bolshevik, 1992; One Day in the Life of Andrei Arsenevich, 1999; dan A Grin without a Cat, 2002) dan serta Clara Law (Letters to Ali, 2004) adalah beberapa contoh relevan esai sinematik dan digunakan sebagai referensi visual [1]

Pita Cukai menjadi sebuah kerja awal dari S.Jai yang mencoba memadukan investigasi news dengan opini. Ia mencoba menelusuri persoalan atau bisa disebut “skandal” pita cukai di Kediri. Sebetulnya, karya awal ini dapat menjadi sebuah karya yang menjanjikan, selain catatan-catatan berikut yang mungkin dapat dijadikan alternatif pemikiran. Mengutip kembali catatan Lopate sebelumnya, kekuatan sinematik essai, sebetulnya ada pada dua poin utama: kekuatan opini personal dan pilihan gambar. Sebagai sebuah embrio, dua kekuatan utama ini mulai muncul pada Pita Cukai. Persoalannya adalah, embrio tidak cukup kuat untuk menjamin menjadi sebuah produk yang diakui.

Kekuatan opini personal dalam sinematik essai sesungguhnya hanya memperkuat asumsi dalam auteur theory – dalam dunia sastra tulis maupun studi sinema – bahwa sang author memiliki kuasa penuh atas karyanya, sehingga, karya itu menjadi personifikasi sang author, atau paling tidak menjadi apa yang disebut sebagai “the voice of author”. Ya, Barthes menyatakan “the author is dead”, tapi jangan lupa, ia juga masih menyatakan bahwa ia masih merasakan “the sense of the author”. Sinematik essai, jika tidak hendak menjadi personifikasi murni sang author, setidaknya menyuarakan opini sang author. Hal inilah yang menjadi sedikit ganjalan dalam Pita Cukai. Saya belum merasakan personal opinion dari seorang S.Jai. Saya melihat sosok S.Jai dalam beberapa scene. Saya mendengar suara S.Jai melakukan wawancara. Bahkan, saya melihat S.Jai menyampaikan pendapatnya di depan kamera. Seolah-olah diwawancara. Sayangnya, saya belum melihat apa yang disebut Lopate sebagai “a strong, personal point of view” dari S Jai.

Kekuatan opini tidak cukup bisa terwakili dari kehadiran sang author secara kasat mata. Betul, Michael Moore muncul dengan sangat kasat mata dalam beberapa film essay – nya. Betul, Morgan Spurlock juga muncul secara atraktif dalam SuperSize Me. Tapi, kehadiran mereka menjadi satu gerbong yang dinamis dan harmonis dengan opini personal mereka yang tajam, sarkastis, satire, terelaborasi menjadi sebuah sajian menarik. Tema carut marut pita cukai sebetulnya tema yang unik dan menarik, yang bagi orang awam seperti saya memunculkan pertanyan menggelitik, “Hah, kenapa dengan pita cukai rokok?”. Sesuatu yang tidak menjadi tema mainstream. Sama halnya saat Morgan mempertanyakan manfaat dan menyajikan bahaya McDonalds, atau Moore yang menyajikan nasib karyawan yang dipecat dalam Roger & Me. Tema-tema itu menjadi bahan siap olah jika dikemas dalam analitik yang mendalam dan komprehensif. S.Jai perlu mengelaborasi lagi opini, diskusi, dan semua hal yang berada di kepalanya saat menginvestigasi isu yang diangkatnya. Karena, sebagaimana halnya essai, sinematik essai mengedepankan ketajaman opini. Karena itu, dalam banyak sinematik essai, pilihan penggunaan “the voice of God” sebagai metafore “Voice Over” menjadi salah satu pilihan bernas untuk menyampaikan kekuatan opini sang author.

Kekuatan sinematik essai yang lain adalah pilihan gambar. Saya teringat ambilan-ambilan gambar Thin Blue Line dan Gates of Heaven-nya Erill Morris. Penggemar dokumenter tidak bisa menolak saat disuguhi gambar-gambar artistik-semi eksperimental yang dipakai untuk memaparkan fakta, data yang dielaborasi dengan wawancara. Sebaliknya, para penggemar art, secara sadar melahap habis semua data dan realita yang muncul dalam kemasan artistik tersebut. S.Jai, dengan latar belakang sastra dan teaternya, pasti dengan sangat sadar memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih ambilan visual. Sayangnya, beberapa pilihan gambar yang muncul belum memaksimalkan perspektif artistik. Saya membayangkan jika adegan “mesin” linting rokok manual itu dimaksimalkan sebagai kekuatan artistik, pun keriuhrendahan pegawai pabrik rokok, ataupun pilihan visual bungkus rokok. Clara Law, dalam Letter to Ali menampilkan suasana kering kerontang gurun australia yang dibungkus birunya langit sebagai sebuah kekuatan artistik. Letter to Ali adalah mixing genre road-documentary-cinematic essay. Paduan yang tidak biasa dan menghasilkan karya yang luar biasa.

Tapi, ini bukan kiamat. Bagi saya, karya S.jai ini tetap merupakan salah satu terobosan. Tak banyak yang menjejakkan langkah di sini karena berada pada ranah batas yang absurd. Tapi, mereka yang mapan akan menjadi fenomenal. Siapa yang tidak mengenal karya Chris Marker atau Jean Luc Goddard sebagai sineas klasik yang konsisten di jalur sinematik essai. Bukan, yang diperlukan S.Jai bukan meniru mereka. Yang diperlukan adalah berkarya lagi. Lagi. Dan lagi. Hingga menemukan pola dan ciri sendiri. Saya selalu percaya satu hal, karya pertama adalah karya terbaik. Karya berikutnya adalah perbaikan dari karya terbaik itu. [Sidoarjo, 12 januari 2010]

 Staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP Unair. Penyuka karya Chris Marker, Pecinta karya Erril Morris, dan selalu terhibur oleh karya Michael Moore. Dapat ditemui di ketutsatrya@yahoo.com.au

Referensi:

 Phillip Lopate, “In Search of the Centaur: The Essay-Film”, in BEYOND DOCUMENT: ESSAYS ON NONFICTION FILM, edited by Charles Warren, Wesleyan University Press, 1998.

[1]Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai esai film/sinematik, lihat: M. Alter, N (2007). Translating the Essay into Film and Installation. Journal of Visual Culture, 6 (44),hal. 44-57

Statistik Blog

  • 33.093 hits
Follow My Blog, My View on WordPress.com

Follow me on Twitter

Twit Saya

History of my story

  • Juli 2018
  • Juni 2018
  • Mei 2018
  • April 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Januari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • November 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Juli 2016
  • Juni 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Maret 2016
  • Februari 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015
  • November 2015
  • Oktober 2015
  • September 2015
  • Agustus 2015
  • Juli 2015
  • Juni 2015
  • Mei 2015
  • April 2015
  • Februari 2015
  • Januari 2015
  • Desember 2014
  • Agustus 2014

Satrya’s Facebook

Satrya’s Facebook

This is me

Satrya Wibawa

Satrya Wibawa

A dreamer, an explorer, Amazingly cute, surprisingly adorable. https://id.linkedin.com/in/satryawibawa See my visual journey on: https://instagram.com/igaksatrya https://www.youtube.com/user/igaksatrya

Tampilkan Profil Lengkap →

My Pictures

Trapped #macrophotography #iphone7 #iphoneography #macroiphone #iphonemacrophotography #macro #macro_captures
Struggle #macrophotography #iphone7 #iphoneography #iphonography #iphonemacrophotography #nature
When you say hello.. #iphone #iphone7photography #iphone7 #iphoneography #iphoneogram #macrophotography #iphonemacrophotography #nature
Survive #iphone7 #iphoneography #instaiphone #instaiphonegraphy #macro #macrophotography #iphonemacrophotography #nature #naturephotography

Top Posts & Halaman

  • 3 Alasan Jadi Dosen (Seri Dosen Juga Manusia. Sepertinya)
  • 5 Alasan Seru Kuliah di Komunikasi Unair
  • Kenapa Dosen Suka Bertanya "Ada yang tidak paham?" (Seri Dosen Juga Manusia. Sepertinya)
Follow My Blog, My View on WordPress.com

Blog di WordPress.com.