View on Path
31 Rabu Mei 2017
Posted Visual Talk
in31 Rabu Mei 2017
Posted Visual Talk
inView on Path
30 Selasa Mei 2017
Posted Visual Talk
inKopi apa Babi?
Sampai kini ada satu misteri yang tak terpecahkan bagi kami, atau setidaknya saya, hingga saat ini.
Komplek perumahan tempat kami mengontrak rumah, seperti halnya perumahan lain di jagad endonesa, rutin disambangi pedagang keliling. Apalagi saat bulan puasa.
Nah, waktu itu ada satu pedagang keliling yang naik motor namun tak jelas meneriakkan apa. Biasanya dia sudah meng-gas motornya sejak di ujung kompleks lalu saat belok, meneriakkan dagangannya. Rumah kontrakan kami tepat di bagian belokan. Sehingga pasti kebagian teriakan kencang itu.
Waktu itu ada perdebatan, apakah pedagang itu berteriak “babi” ataukah “kopi”.
Inj dua produk yang berbeda sekali.
Kalau kopi, kenapa dia tak pernah berhenti? Mosok hanya teriak “kopiiiii…” terus nge-gas dan berlari, belok blok lain, teriak lagi..”kopiii..”. Jual kopi kok lari-lari..
Kalau babi, kenapa juga dia tak berhenti? Jangan-jangan malah lagi memaki..”babiiii..”
Terus lari. Kalau ini, kurang ajar sekali dia. Kok beraninya teriak “babi” di depan rumah kami.
Babi itu untuk dimakan, bukan bahan memaki.
Pernah satu ketika kami berniat nongkrong depan rumah. Memastikan itu “kopi” apa “babi”.
Tapi sungguh sayang, bangun pagi bukanlah hal yang mudah. Yang ada, kami terbangun karena si pedagang bermotor itu meneriakkan “kopiiiii…” atau “babiiii…”, lalu dia pergi. Hinggi kini, masih jadi misteri…
Sial…
#ceritapuasa
View on Path
30 Selasa Mei 2017
Posted Visual Talk
inRumah Singgah 2: the Sum of All Fears
Teman-teman sekontrakan saya sebetulnya ganteng-ganteng semua. Cuman saya doang yang manis. Sejak dulu, jadi mau apa lagi? Terima nasib saja, ndak perlu resah.
Tapi, diantara yang ganteng-ganteng itu ada satu yang menjadi idola bangsa. Gantengnya waktu itu ngalah-ngalahin Reza Rahardian. Orangnya pinter pula. Pinter komputer. Kalau ada masalah dengan komputer tinggal panggil dia. Seringkali malah komputernya jalan sendiri begitu mendengar teman saya ini dipanggil. Saking takutnya.
Cara bertuturnya halus dan lembut. Tak pernah ngomong kasar. Pakaian selalu rapi dan harum. Dan yang paling paripurna, alim dan taat beragama. Tri sandhya setiap hari. Benar-benar high quality jomblo.
Bayangkan. Jangan bandingkan dengan saya deh. Jauh.
Teman-teman saya yang singgah di rumah, sering melihat sosoknya hanya sekelebatan. Tentu sambil menunggu pacar mereka menjemput. Atau menunggu pacar mereka yang lain menjemput. Tapi karena prinsip rumput tetangga lebih hijau, sekelabatan itu cukup membuat teman-teman saya, yang kabarnya dapat membuat para pria dari jurusan lain itu klepek-klepek, bertanya-tanya. “Siapa mahluk ganteng itu?”
Awalnya, saya ingin menjaga harkat martabat dan kehormatan teman saya, tapi akhirnya saya terpaksa membocorkan informasi itu. Sebut saja namanya Bung A.
Dan terjadilah itu. Setiap kali teman-teman saya datang, dengan santai mereka memmanggil-manggil, “permisi Igak, bung A ada?”
Atau “bung A, keluar dong…”
Karena kamar saya sebelahan dengan kamar bung A, kadang teman-teman saya sengaja memuji-muji bung A dengan suara keras. Bahkan menurut kabar dari orang yang tdak bisa disebutkan ukuran sepatunya, kadang teman-teman saya datang tengah malam sambil menyebut nama Bung A… hiiiii….
Bung A, perjaka tingting, alim dan suci, lalu digoda-goda teman-teman saya secara brutal. Saya yakin, saat teman-teman saya memanggil-manggil namanya, si bung A ini sibuj menguatkan diri. Valak, boneka annabel, chucky, sampe nenek gayung, kalah menakutkan dibanding panggilan teman-teman saya.
Bung A mendapat terpaaan seperti ini tentu seperti menjalani salah satu fase hidup paling mengerikan. The sum of all fears.
Sungguh.
#ceritapuasa
View on Path
29 Senin Mei 2017
Posted Visual Talk
inRumah Singgah (1)
Dulu, semasa di rumah kontrakan, kalau pas ngabuburit, rumah sering jadi rumah singgah. Bukan, bukan rumah singgah buat anak jalanan, saya belum sedahsyat itu. Ini rumah singgah kawan-kawan saya. Jadi setelah kuliah, mampir dulu di rumah. Terus nelpon orangtua, “mah, aku nanti mau tarawih dan buka bersama di kampus. Kumpul dulu di rumah igak”
Setelah itu mereka dijemput pacar mereka, yang ndak berani jemput di rumah. Atau pacar yang lain, selain pacar aslinya. Ya mereka beneran setelah itu buka bersama di kampus atau mall, terus tarawih. Tapi ya itu, “singgah” dulu di rumah kontrakan kami.
Ada juga yang melarikan diri dari pacar pilihan orangtua, atau fans yang selalu menyatroni rumah mereka. Bervariasi sekali alasan singgahnya.
Kerennya istilah sekarang ya, meeting point.
Kadang, kalau mereka sampe malam, bilangnya belajar bersama di rumah saya. Duh, istilahnya. Belajar bersama. Terakhir kali saya pake istilah itu waktu SD.
Tapi kok ya para orangtua kawan-kawan saya percaya ya. Mungkin dalam bayangan mereka saya itu pemuda muslim harapan bangsa yang selalu tarawih, dan buka bersama kawan-kawan, dan…yang paling penting, pintar dan berkepribadian adiluhung.
Buset dah.
Tapi begitu, kawan-kawan serumah saya ya tetap jomblo. Hanya bisa bertanya penuh harapan ke saya, “loh mereka cuman mampir bentar doang? Ndak kenalan sama kita gitu?”
#ceritapuasa
View on Path
26 Jumat Mei 2017
Posted Visual Talk
inTelepon Rumah
Gara-gara nulis soal rumah kontrakan, semua ingatan tiba-tiba bermekaran. Salah satunya soal telepon rumah.
Iya, jaman itu belum ditemukan telepon genggam. Setidaknya di rumah kontrakan saya. Adanya telepon rumah. Sungguh, saat itu PT Telkom mungkin berbahagia punya konsumen mahasiswa seperti kami. Pada hobi telepon pulang ke Bali. Apalagi yang punya pacar. Telpon bisa setiap malam. Yang belum punya pacar, ya pura-pura telpon teman ngaku pacar.
Apalagi kalau tiba-tiba telepon sambil bisik-bisik. Sudah pasti pacar. Minimal cemceman. Yang lain mendadak sibuk mondar-mandir. Teriak-teriak. Sibuk lah. Sibuk mengganggu.
Lalu tiap tagihan datang, ngeprint catatan telpon. Itu bisa berlembar-lembar. Kalau dijilid bisa setebal skripsi. Disitulah “pertempuran” terjadi. Tak semua ingat nomer yang ditelepon. Tapi semua selalu happy ending. Tagihan dibagi proporsional. Sesuai menit. Iya, masing2 dengan kesadaran sendiri mencatat berapa menit mereka menelpon utk nomer lokal.
Lalu saat bulan puasa tiba, sering datang teman-teman tersayang numpang menelpon. Pamit dari rumah mungkin bilangnya tarawih. Taunya njelepok di depan telepon kami. Nelpon berjam-jam. Entah siapa yang ditelpon. Mesra pulak suaranya. Merayu gombal mukiyo. Jika ada operator, mungkin operatornya jatuh tertidur saking lamanya.
Lha iki sing duwe telpon sopo sakjane?
Kadang malah, pas sahur sudah standby di depan telepon. Sampe kami yang tak puasa, saat bangun pagi, terkaget-kaget mendapati teman satu ini sudah posisi uenak dengan telepon di telinga. Buset…. ini telepon bisa leleh terbakar.
Lah akhirnya teman satu ini lebih sering terkena tagihan telepon paling banyak. Padahal tidak ikut ngontrak. Ah, dia memang pantas dijuluki bapak telkom mulyosari.
Sudahlah, jangan suruh saya menyebut inisialnya. Benu itu bukan inisial. Itu nama.
#ceritapuasa – with Wisnu
View on Path
25 Kamis Mei 2017
Posted Visual Talk
inView on Path
24 Rabu Mei 2017
Posted Visual Talk
inOrang paling pengecut di jagadraya ini adalah orang yang mau mati tapi mengajak mati orang lain, hanya karena merasa “mati”-nya adalah jalan paling benar.
View on Path
24 Rabu Mei 2017
Posted Visual Talk
inBruce
Sore ini sibuk luar biasa. Ada sport after school program, ada juga fieldtrip anak-anak senior. Tiga bis sekolah pada berangkat semua, belum lagi anak-anak sekolah lain berdatangan karena ada pertandingan di lapangan sekolah. Di tengah kesibukan itu, sementara saya menyetop jalan untuk memberikan jalan pada bis sekolah, tiba-tiba saya mendengar suara, “Bruce..”
Saya menoleh. Ada nenek-nenek sambil membawa kursi piknik melihat ke arah saya. Saya celingukan, memastikan tidak ada orang lain.
“Did you call me, Maam?”
“Yes, Bruce. Do you know where the hockey game is?”
“Yes Maam, i am not Bruce. But i can show you the place”
“Oh thank God. I’ve been here for half an hour, but i could not find it”
Dia lalu saya antar ke lapangan. Kondisi memang ramai. Mobil bersliweran, anak-anak sekolah motong jalan seenaknya, merasa punya nyawa dua. Sambil berjalan ke lapangan, si nenek-nenek bercerita bahwa dia diminta cucunya menonton program ini. Dan banyak lagi. Saya tak begitu jelas mendengarnya. Logat aussie nenek ini kental sekali. Setelah sampai di lokasi, dia berkata, “thank you Bruce. Mrs ****e told me if i need to know anything about this game, i can ask you”
“Thank you Maam, but again, I am not Bruce”
Saya tahu Bruce yang dimaksud adalah guru olahraga baru di sekolah ini. Masih muda, keturunan Asia, suka naik mobil sport, tapi setahu saya namanya Bryce. Atau mungkin Bruce. Entahlah.
“Good on ya Bruce, i will see you again sometimes..”
“You too Maam, my name is Satrya. Not Bruce”
“That is allright, Bruce. See ya..”
Mbah, saya bukan Bruce…..
Kalau saya Bruce, nanti malam saya Batman..
#baladatrafficwarden yang mungkin nanti malam jadi Batman…
View on Path
24 Rabu Mei 2017
Posted Visual Talk
inView on Path
22 Senin Mei 2017
Posted Visual Talk
inSaat paling mengharukan sore ini adalah saat membantu emak-emak memarkirkan mobil segede gabannya. Tiga puluhan detik saya teriak-teriak tapi si emak tetap tak bergerak memundurkan mobilnya.
Karena penasaran saya bergegas ke arah pengemudi dan melihat muka si emak sudah pasrah seperti serutan es. Melihat saya datang, dia berkata, “I am sorry. I tried to do what you say, but i dont understand your command”
“Oh really? I dont know that”
“Yeah, you said ‘terus’, ‘munnur’ sort of things. I am not sure…”
“Did i say that? Oooh, sorry…”
Dalam semangat, saya ternyata berteriak “terus” dan “mundur”.
Kasihan si emak.
Lebih kasihan lagi, saya.
Mungkin saya butuh piknik…
#baladatrafficwarden
View on Path