My Blog, My View

~ My Voice, My Choice

My Blog, My View

Monthly Archives: Januari 2016

Sebuah Drama karena Pizza

30 Sabtu Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Catatan Pizza Driver, Hidupku di Negeri Kangguru

≈ Tinggalkan komentar

Seloyang pizza dapat membuat sebuah drama. Drama rumah tangga. Seperti sinetron drama penuh cinta dan tanpa ujung entah kemana.

Seperti malam ini. Saya kebetulan mengantar satu loyang pizza. Yang menerima, seorang perempuan muda. Mukanya seperti ndak percaya.

“Honey..” Katanya.

Saya kaget. Tak kenal nama, tak tahu rupa, kenapa berkata sungguh mesra kepada saya.

“Honey..” Katanya lagi. Kali ini lebih keras dan kepalanya menoleh ke dalam rumah.

Ah, rupanya dia menyapa itu untuk seseorang. Bukan saya. Tentunya.

Lalu, datang pria muda dari dalam. Dalam sekejap, kedua orang itu terlibat percakapan. Tepatnya perdebatan. Ringkasnya, si perempuan sebenarnya tak ingin memesan pizza yang saya bawa. Inginnya merk pizza yang berbeda. Tapi si pria memilih memesan pizza yang saya bawa. Bukan yang dimau si perempuan. Persoalannya, si pria tak punya uang tunai, dan berharap si perempuan yang bayar. Si perempuan keberatan karena kepenginnya pizza yang lain.

Kedua orang itu, setidaknya sekali, menyapa saya dan berkata, “apologise for this, this is not your fault”

Tentu saja ini bukan salah saya. Saya hanya berharap drama ini cepat usai, dan pizza yang saya bawa, dibayar. Cuman satu pizza tapi repotnya seperti pesan pizza selusin.

So, saya seperti menonton drama: sit back, relax and dont look down.

Akhirnya si perempuan mengalah. Dia membayar pizza itu. Tentu dengan muka tak sedap. Si pria mengucapkan terima kasih dengan muka seperti berkata, “tampar aku mass, tampar aku”

Sambil kembali ke mobil, imajinasi saya membahana. Jangan-jangan seperginya saya, pasangan itu lanjut kelahi. Saling bunuh bisa jadi. Kalau ada koran lampu merah disini, bisa jadi headline-nya “Gara-gara salah pesan pizza, suami dibunuh iatrinya”

Ah, seloyang pizza ini memang luar biasa. 

#CatatanPizzaDriver

Perth, 30 januari 2016

Teori

29 Jumat Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Short

≈ Tinggalkan komentar

Sehebat apapun pemikiran anda tentang teori, tak mesti membuat anda jadi kasta tertinggi. Ini bukan masa romawi atau yunani.

Rumitnya Pemanggang Roti

27 Rabu Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Hidupku di Negeri Kangguru, Short

≈ Tinggalkan komentar

File 27-01-2016, 2 46 45 PM

Seorang teman memberikan pemanggang roti. Ternyata, pemanggang roti itu rumit. Pemanggang roti ini buatan China. Jelas ada tulisan Made in China. Namun, pada spesifikasi teknis, memakai huruf kanji. Istri saya memastikan itu dalam huruf dan bahasa korea. Bukan China atau Jepang. Katanya, karena pada aksara itu ada unsur bulat-bulatnya. Emboh, saya ya percaya saja.

Lalu, gambar pemanggang roti itu ada visual dan merk Hello Kitty – yang walau namanya pakai Bahasa Inggris, itu icon Jepang. Jangan tanya saya kenapa namanya Hello Kitty.

Yang menambah rumit lagi, system kelistrikannya memakai system kelistrikan Indonesia, atau sebagian besar Asia. Colokan dua bulat. Nah, pemanggang roti ini dipakai di Australia, yang colokan pipih miring dua.

Penggunanya, mahasiswa Indonesia yang manis sekali. Eh, jangan menambah kerumitan: manis saja. Kerumitan makin menjadi saat seharusnya si mahasiswa Indonesia yang manis (saja) ini menulis thesis, dia malah menulis blog ini tentang rumitnya pemanggang roti.

Jadi, bisa dibayangkan betapa rumitnya pemanggang roti ini.

#CatatanMahasiswaManisSaja

Perth, 27 Januari 2016

Masa lalu

26 Selasa Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Short

≈ Tinggalkan komentar

Masa lalu itu memang mudah dibawa lagi jika kita tak bisa menghadapi masa kini.

Misal, presiden lalu selalu dicari enaknya dan dibandingkan dengan presiden kini.

Bukan berarti presiden kini lebih baik. Atau lebih buruk. Semua pasti punya baik buruknya.

Bedanya sederhana. Di masa lalu ndak ada media sosial yang bisa dipakai melampiaskan nafsu lambe-mu. 

Itu saja.

Prasangka

26 Selasa Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Hidupku di Negeri Kangguru

≈ Tinggalkan komentar

Prasangka bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Termasuk pada tukang anter pizza yang sedang bekerja.

Pada anteran pertama, dari nama pembeli yang saya baca, saya menduga dia orang Indonesia. Saat mengantarkan pizza kepadanya, saya tak banyak kata. Tapi sang pembeli melihat saya dengan teliti, kemudian berkata, “orang Indonesiaaaa yaaa”

Saya mengiakan dan tertawa. Dia berkata,”ciri-ciri orang Indonesia itu mudah dilihat mata..” Prasangka tentu saja. Tapi ada benarnya. Namun dia mengaku, sempat mengira saya orang Malaysia. 

Kami lalu ngobrol sebentar. Basa-basi sambil menambah koneksi.

Antaran berikutnya, dari nama, saya menduga orang India, atau setidaknya, Asia Selatan.

Saat tiba di rumahnya, pintu terbuka, muncul sosok pria muda dengan muka Asia Selatan. Tiba-tiba saja, dia berkata panjang. Blablablabla… (Iya, bahasa India)

Anjrit. Saya tak paham apa-apa. Hanya bisa bengong tanpa kata. Sesaat dia terdiam. Baru sadar kalau saya hanya diam. Lalu dia berkata,”You are not Indian, aren’t you?”

“Nope. Sorry, i dont understand what you say”

Dia tertawa,”Sorry, my fault. You look like Indian. That’s why, i spoke hindi….”

Saya cuma bisa tertawa kecut. 

Sudah biasa. Sepanjang sejarah, saya belum pernah disangka orang China atau asia timur. Atau Rusia.

#catatanPizzaDriver

Perth, 25 Januari 2016

Madonna 

22 Jumat Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Catatan Pizza Driver, Hidupku di Negeri Kangguru

≈ Tinggalkan komentar

Kerja antar pizza kadang jadi menantang saat di jalanan. Bukan, bukan soal kebut-kebutan. Lebih pada kalau terasa membosankan di tengah jalan. Apalagi saat jalanan sepi dan alamat pembeli pada titik terjauh wilayah antaran.

Caranya sederhana. Dengar radio atau putar musik. Radio kadang terasa membosankan. Apalagi pas lagu yang diputar itu-itu saja. Karena itu saya siapkan stok CD cukup banyak. Kebetulan saya hobi berburu CD bekas (eh, ini maksudnya compact disc loh. Bukan celana dalam) seharga sedolaran. NKOTB, take that, metallica, termasuk Madonna.

Malam tadi, kompilasi hits Madonna saya pilih. Tentu saat Madonna sedang ranum-ranumnya. Ndak yang berotot kayak sekarang.

Like a virgin berhasil memompa mood sepanjang jalan. Kebetulan saya penyanyi Reff. Bukan Rap. Tapi Reff. Jadi, baru nyanyi kenceng pas bagian reff-nya doang. Sisanya cuman klemak klemek ndak jelas. 

Saat lampu merah, di jalan sepi, karena saya tahu biasanya lama, saya keraskan volume. Ini kali ketiga “Like a Virgin” saya putar. Menikmati Madonna, uhm, maksudnya lagunya Madonna ini ndak enak tanpa gerak. Jadilah tangan, kepala bergerak ndak karuan. Termasuk ikutan bersenandung. Hmm, iya iya, saya bersuara agak keras (saya menghindari menggunakan kata menyanyi. Takut kalau salah istilah). Sambil teriak “like a virgin” bolak-balik, sesaat saya merasa ndak enak. Benar saja, ternyata di sebelah sudah berhenti SUV yang penumpangnya perempuan semua. Dan semua kepala melihat saya. Takjub tampaknya. Si mbak di sisi sopir berkata, “Nice song, mate. I like Madonna too. And nice dance too. Just be careful with your driving”. Lalu berlalu. Saya sempat dengar salah satu dari mereka teriak, “Madonna? Seriously?”

Jep. Langsung mingkem. Kecilin volume sambil misuh-misuh sepanjang jalan.

Pelajaran pertama, sebelum nyanyi, eh teriak, liat situasi. Jangan banting harga diri. Sadar diri kalau tak cakap menyanyi. 

Pelajaran kedua, cari penyanyi lain. Yang lebih maskulin.Britney Spears misalnya. 

Besok-besok saya menyanyi dalam hati saja. 

#CatatanPizzaDriver

Perth, 22 Januari 2016

Dia

21 Kamis Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Short

≈ Tinggalkan komentar

Dia. Dia yang tak pernah menutup hidung saat mencium bau tai sendiri di kamar mandi, tapi menutup hidung rapat dan berteriak bau saat mencium bau tai orang lain. Bahkan saat dia tak berada di kamar mandi yang sama. Atau bahkan saat orang itu sudah tak ada di sana.

pahlawan

21 Kamis Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Short

≈ Tinggalkan komentar

Semua orang punya sisi gelap. tak terkecuali pahlawan. Mereka juga punya sisi gelap. Tapi karena jadi idola, sisi gelapnya dimaapin. Dilupakan. Dianggap ndak ada. Bahkan, penggemarnya punya sejuta alasan untuk membenarkan.

Bukan. ini bukan soal politik. Ini soal kamu dan pahlawan kamu. Siapapun itu.

Persoalanku Sepatu. (Bukan Jonru).

18 Senin Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Catatan Mahasiswa Es Tiga, Hidupku di Negeri Kangguru

≈ 1 Komentar

Tag

bekas, dosen, jonru, perth, sepatu

Sekarang, lagi banyak yang ribut soal dua hal. Sepatu pak polisi dan Jonru. Kalau Jonru, sudahlah. Masih banyak yang lebih penting. Saya mirip dengan pak polisi yang kemarin diributkan itu. bedanya kalau beliau diributkan mamah-mamah muda, saya selalu bermasalah dengan sepatu. Sejak dulu. Entah kenapa saya dilahirkan dengan model kaki jembar. (Sek, jembar iki opo yo?). Kaki saya lebar. Dan luas. Untung cuman jembar. Coba kalau bisa lengket di tembok. Kemungkinannya ada dua: saya jadi bintang pelem spiderman, atau nama saya masuk lagu anak-anak. (Igak..igak di dinding..diam-diam merayap..)

 

harry potter

(keterangan foto; Mohon fokus ke sepatunya. Bukan. Bukan karena bermerk seperti abang polisi itu. Tapi karena saya lagi membahas soal sepatu)

Jadi sejak SMA, saya selalu mencari ukuran sepatu di atas rata-rata. Minimal 44. Itu sudah ngepas banget. Persoalannya, yang namanya ukuran 44 waktu itu jarang sekali. Kalaupun ada, pasti yang sudah bermerk terkenal dengan harga bikin mendhal. Apalagi, keluarga saya bukan keluarga yang kaya raya, apalagi punya kuda (eh hubungannya apaaa?). Tapi, waktu itu, hotel tempat bapak saya bekerja, memberikan semacam subsidi untuk sepatu. Karena ukuran sepatu bapak saya kurang lebih mirip, jadilah jatahnya sering diberikan ke anak-anaknya. Dan itu bisa menurun dan diwariskan, dari kakak saya ke saya. Kebetulan, keluarga saya memang modelnya begitu semua. 44 ke atas.

Saat kuliah di Surabaya, masalah sepatu juga masih menyerbu. Di Surabaya banyak sepatu murah. Tapi tak banyak dengan ukuran saya. Kalaupun ada, pastinya harganya tak bakal bisa saya jangkau. Kalau pulang kampong ke Bali, tujuan lain adalah tanya kakak yang kebetulan sudah mapan. Ada sepatu yang bisa diwariskan ke saya? Ya dasar kakak yang baik, selalu adalah sepatu (dan juga baju) yang dihibahkan ke saya. Persoalannya, kakak saya dokter, jadi kebanyakan sepatunya juga sepatu formal begitu. Jadi, ya apa boleh buat. Saya yang urakan begini musti pakai sepatu formal.

Pernah, hasil honor menulis di majalah remaja waktu itu, saya habiskan hanya untuk membeli sepasang sepatu ber-merk (yo kudune bermerk bro, mosok kosongan? Terus mereke mbok rugos ngunu tha?) yang harganya bikin sakit hati sebenarnya. Seharga uang saku bulanan saya dari bapak-ibu. Makanya sepatu itu saya eman-eman sampai mau lulus. Ndak dipake lagi karena kerusakannya sangat parah. Sampe tukang sol sepatu pun sebenarnya iba ngelihat kondisi sepatu saya itu. Sungguh tidak ber-peri-kesepatuan masalahnya. Dipake kuliah, dipake jalan-jalan, dipake kemping, dipake liputan, bahkan dipake….kondangan. (Saya baru sadar kenapa saat kondangan dulu banyak yang ngelirik dan memandang saya dengan takjub. Dulu saya pikir karena saya ganteng. Saya salah rupanya).

Saat menjadi dosen, nasib dan masalah sepatu tetap tak berubah. Malah tambah rumit. Lha, sudah bekerja masak berharap uang saku dari ortu terus, mana pendapatan dari menulis sudah ndak ada karena saya memilih jadi dosen timbang nerusin kerjaan wartawan freelancer atau jadi line-manager sebuah produk di pabrik. Mau beli sepatu biasa-biasa saja ndak mampu, apalagi beli yang bermerk, lha gaji cuman 175 rebu sebulan! Tapi ya, kata orang-orang, rejeki adalah dimana-mana. Pelan-pelan bisalah. Tapi tetap tak mampu dan tak sudi beli sepatu mahal. Waktu itu baru ngetop sentra sepatu di dekat Bungurasih Surabaya. Dijajal ke sana, para tukang sepatu itu membuat saya patah hati luar dalam. “gak onok mas..” adalah jawaban standar saya setiap mengnjungi puluhan kios sepatu di sana. Mungkin, tukang sepatu terakhir yang saya kunjungi, sebelum saya nanya, dia udah jawab “gak onok mas..” Seorang tukang sepatu memberikan solusi: “Pesen aja mas, nang tanggulangin”

Saran tersebut saya patuhi. Harganya memang tak semurah harapan saya, tapi tak semahal sepatu ber-merk itu. Tukang sepatunya saya kasih syarat ajaib. Sepatu ini harus bisa dipakai ngajar, kemping, jalan-jalan sama kondangan!”. Iya, sepatu ini harus bisa dipakai di semua kondisi dan situasi. Kalau perlu, isa terbang! Jadi. Apakah kulit asli atau ndak, saya ndak ambil pusing. Iya, sebelum ke tanggulangin ini, semua ritual “mencoba keaslian kulit sepatu” disampaikan oleh kawan-kawan saya. Misalnya, kulit sepatunya musti dicoba dibakar pake korek, kalau ndak terbakar berarti asli. Saya ndak tahu kesahihan metode itu, karena ya kalau cuman diobong pake korek api imut begitu, ya mana kebakar. Lagian kalo bener ndak bisa kebakar gitu, harusnya dipake buat petugas pemadam kebakaran :p

Sepatu itu bertahan hingga saya harus studi ke luar negeri.

Saat ini, hidup dan masalah sepatu saya menemukan solusi. Di negeri ini, saya jatuh cinta dan mnempatkan toko barang bekas sebagai surga. Tak perlu 72 bidadari di dalamnya. Cukup barang-barang di bawah 5 dollar. Toko-toko macam GoodSammy, Salvation Army, Vinnies, Rotary, Red cross, adalah tempat favorit saya. Persetan dengan mall-mall mahal yang jadi jujukan orang kaya Indonesia. Prinsipnya, dimanapun jalan-jalannya, cuci matanya, belanjanya tetap ke good Sammy. Dua masalah terbesar saya soal sepatu: ukuran dan harga, terpecahkan dengan kehadiran toko-toko ini. Sepatu ukuran jembar berlimpah ruah. Harga maksimum 10 dollar. Kalau sedang sale, bisa setengah harga. Bekas, tentu saja. Peduli amat. Yang penting layak pakai. Malah kalau mau memuaskan ego sub-alter, ya kebetulan itu ber-merk semua. Barang-barang yang kalau baru-nya di toko bisa 70 dolaran, saya bisa dapet 6 dollar dengan rupa yang mirip baru. So, buat apa beli baru?

Kadang, kalau lagi bejo, sesekali saya beruntung mungut barang bagus. Mungut? Iya mungut. Bisa di jalan, di buang-buangan sampah, dimanapun yang memanmg orang membuang itu barang. Termasuk sepatu yang saya pakai di poster harry potter ini (maunya bikin poster harry cleaner tapi lagi dikejar deadline chapter, ntar ajah ngutak-atiknya. Ini pake sotosop yang cepet ajah dulu). Safety boot di toko seharga 60-100 dollar saya dapet di tong sampah, tempat saya kerja nemenin istri. Benar-benar dibuang. Lha wong ngambilnya di tong sampah juga pake ngubel-ngubek tong sampahnya dulu, karena waktu awalnya nemu cuman sebiji doang. Karena yakin masih ada pasangannya, langsung masuk tong sampah gede, dan nemu. Mirip-mirip kisah sepatu Cinderella gitu deh.

Barang bekas dipake? Lah, masih bagus. Peduli amat. Lagian kalo saya ndak cerita, situ ndak bakal tahu itu bekas kan? Hehehe

Jadi, ntar-ntar kalau liat saya pake sepatu ber-merk lagi, ndak usah berprasangka saya beli di butik mahal gitu. Itu pasti harganya maksimal 6 dollar. (Diatas 6 dollar saya anggap mahal. Medit ya. Babahno…)

 

Perth, 18 Januari 2016

 

 

Baju Obralan

18 Senin Jan 2016

Posted by Satrya Wibawa in Hidupku di Negeri Kangguru

≈ Tinggalkan komentar

File 18-01-2016, 12 47 30 PM

Minggu lalu saya membeli tiga t-shirt obralan di sebuah pusat perbelanjaan, K-Mart. Murah, cuman sedollar, dari harga semula 20 dollar. Gambanya logo film Ghostbuster.

Hari ini saya pakai ke kampus. Di halte dekat rumah, saat menunggu bis, dari kejauhan saya melihat perempuan dengan baju motif sama datang mendekat. Saya yakin dia juga melihat saya dan tentu, baju yang saya pakai. Sambil menunggu bis, terjadi keheningan luar biasa. Ya, saya juga ndak kenal siapa orangnya. Di bis, kami juga duduk terpisah. (Mbok pikir pangku-pangkuan tha?)

Sampai di kampus, dia bergegas turun. Dugaan saya, jalannya dipercepat. Saya mah santai. Tujuan saya ke perpustakaan (ojok kaget. Aku yo hampir tiap hari ke perpustakaan. Soale enak digawe turu).

Di perpustakaan, sambil lihat katalog di komputer, tiba-tiba saya melihat perempuan yang sama masuk ke toilet. Sesaat kemudian, dia keluar. Kali ini dengan pakaian yang berbeda. Kali ini tank-topan. T-shirt ghostbuster-nya sudah menghilang. Kali ini dia keluar dengan senyum lebar. Padahal tadi waktu menunggu bis, mukanya mecucuuuu terus. Ikan lele aja lalah mecucu.

Saya ambil hikmahnya. Saya bisa membuat perempuan itu buka bajunya tanpa perlu saya paksa.

Asyem tenan.

Sek, tak cari lagi ada ndak yang pake baju yang sama hari ini. Tak dempet terus.

View on Path

← Older posts

Statistik Blog

  • 33.093 hits
Follow My Blog, My View on WordPress.com

Follow me on Twitter

Twit Saya

History of my story

  • Juli 2018
  • Juni 2018
  • Mei 2018
  • April 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Januari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • November 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Juli 2016
  • Juni 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Maret 2016
  • Februari 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015
  • November 2015
  • Oktober 2015
  • September 2015
  • Agustus 2015
  • Juli 2015
  • Juni 2015
  • Mei 2015
  • April 2015
  • Februari 2015
  • Januari 2015
  • Desember 2014
  • Agustus 2014

Satrya’s Facebook

Satrya’s Facebook

This is me

Satrya Wibawa

Satrya Wibawa

A dreamer, an explorer, Amazingly cute, surprisingly adorable. https://id.linkedin.com/in/satryawibawa See my visual journey on: https://instagram.com/igaksatrya https://www.youtube.com/user/igaksatrya

Tampilkan Profil Lengkap →

My Pictures

Trapped #macrophotography #iphone7 #iphoneography #macroiphone #iphonemacrophotography #macro #macro_captures
Struggle #macrophotography #iphone7 #iphoneography #iphonography #iphonemacrophotography #nature
When you say hello.. #iphone #iphone7photography #iphone7 #iphoneography #iphoneogram #macrophotography #iphonemacrophotography #nature
Survive #iphone7 #iphoneography #instaiphone #instaiphonegraphy #macro #macrophotography #iphonemacrophotography #nature #naturephotography

Top Posts & Halaman

  • 3 Alasan Jadi Dosen (Seri Dosen Juga Manusia. Sepertinya)
  • 5 Alasan Seru Kuliah di Komunikasi Unair
  • Kenapa Dosen Suka Bertanya "Ada yang tidak paham?" (Seri Dosen Juga Manusia. Sepertinya)
Follow My Blog, My View on WordPress.com

Blog di WordPress.com.

Batal